Pro.Dr.Mudzakir,SH,MH:Perkara No.1114/pid.B/2020/PN Jak-Sel Bukan Kualifikasi Perkara Tindak Pidana

Jakarta,newsinvestigasi-86.com -Laporan polisi dengan nomor. LP/B/0023/I/2020/Dit.Tipideksus Bareskrim tanggal 13 Januari 2020 terhadap Arwan Koty yang saat ini perkara tersebut masih di sidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan perkara nomor 1114/pid.B/2020/PN JKT.

Perkara tersebut seharusnya tidak dapat di Kualifikasikan sebagai tindak pidana laporan palsu sebagaimana yang dimaksud dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang telah mendakwa Arwan Koty dengan pasal 220, 317 KUHP. Sebab laporan Arwan Koty telah disertai dengan bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya suatu tindak pidana.

Bacaan Lainnya

Hal senada juga dikatan oleh Guru Besar Hukum Pidana Profesor Dr. Mudzakir, SH,MH, Saat menjadi saksi Ahli pada persidangan agenda keterangan saksi Ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Rabu 25 Agustus 2021.

Pada persidangan itu, Terdakwa Arwan Koty telah menghadirkan Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang namanya cukup dikenal dikalangan praktisi hukum maupun Hakim di Indonesia.

Melalui Teleconfrence, Terdakwa Arwan Koty meminta pandangan atau pendapat hukum kapada Guru Besar Hukum Pidana Profesor Dr. Mudzakir, SH,MH, untuk jadi saksi Ahli dalam perkara nomor 1114/pid.B/2020/PN JKT, terkait laporan dan atau pengaduan palsu sebagaimana diatur dalam pasal 220, 317 KUHP.

MenurutNya pandangan hukum atau pendapat hukum Guru Besar Hukum Pidana yang dihadirkan sebagai saksi Ahli dalam perkara dugaan kriminalisasi terhadap Arwan Koty terkait  perkara laporan palsu yang diduga penuh dengan Rekaya itu menjadi terang benderang.

Dalam keterangannya melalui sidang Teleconfrence, Guru Besar serta Ahli Hukum Pidana Profesor Dr. Mudzakir, SH,MH, Tersebut mengatakan Bahwasanya siapapun yang telah menjadi korban atau yang dirugikan dari terjadinya tindak pidana, Memiliki Hak untuk melaporkan atau mengadukan adanya suatu tindak pidana itu kepada pihak yang berwajib, Dalam hal ini Kepolisian RI.

Tim penasihat hukum Arwan Koty juga minta kepada saksi Ahli Hukum Pidana Profesor Dr. Mudzakir, SH,MH, Untuk menjelaskan terkait seorang pelapor (Arwan Koty) yang terbukti telah dirugikan karena adanya dugaan tindak pidana. Namun dalam laporannya dikuatkan dengan beberapa bukti awal yang dinilai sudah cukup dan telah diserahkan kepada pihak
penyidik, Apakah pelapor dapat didakwa telah melakukan tindak pidana laporan palsu atau pengaduan palsu ?.

Sekali lagi saya tegaskan, Bahwasanya seseorang yang telah dirugikan karena adanya suatu tindak pidana memiliki kewajiban dan Hak untuk melaporkan atau membuat pengaduan atas terjadinya perbuatan tindak pidana tersebut ke Kepolisian. “ujar Ahli hukum Pidana Profesor Dr. Mudzakir, SH,MH menjawab pertanyaan Tim penasihat hukum Arwan Koty.

Profesor Mudzakir juga mengatakan, Hal tersebut juga telah dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan setidaknya ada Dua alat bukti atau barang bukti untuk menguatkan terjadinya tindak pidana, Misalnya, Dengan menyerahkan alat bukti seperti surat atau bukti-bukti lain yang mengakibatkan korban atau pelapor mengalami kerugian atas peristiwa atau perbuatan tindak pidana tersebut.”ujarnya.

Dua STap yang dihentikan pada tahap penyelidikan

Korban yang melaporkan atas terjadinya suatu tindak pidana, Memiliki Hak untuk memperoleh jaminan perlindungan hukum dan itu menjadi kewajiban Kepolisian RI untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban atau pelapor. “ujar Ahli Hukum Pidana Profesor Dr. Mudzakir, SH,MH, Saat menjadi saksi ahli yang diajukan oleh Arwan Koty di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari Rabu 25 Agustus 2021.

Pelapor (Arwan Koty) tidak bisa
dituduh telah melakukan laporan palsu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 220 KUHP dan tidak dapat dikualifikasikan pengaduan fitnah atau pengaduan palsu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 317 KUHP. Sebab pelapor telah memberikan bukti awal yang cukup untuk menduga terjadinya suatu tindak pidana.

Efendi Matias Sidabariba SH, Tim penasihat hukum Arwan Koty juga  menanyakan kepada saksi Ahli Prof. Mudzakir, Terkait perbedaan antara PENYELIDIKAN dan PENYIDIKAN, menurut hukum acara pidana.

Apakah tindakan penghentian penyelidikan dilakukan dalam bentuk SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan) dibolehkan  menurut hukum?

Apakah tindakan penyidikan dapat dihentikan (SP3) dan apakah alasan tindakan pengehentian penyidikan menurut hukum?

Apakah setiap penghentian Penyelidikan dan penyidikan pelapornya dapat dilaporkan balik
karena telah melakukan laporan palsu atau pengaduan palsu sehingga diajukan ke pengadilan oleh jaksa penuntut umum dengan didakwaan pasal 220 KUHP Junto pasal 317 KUHP tentang tindak pidana laporan palsu dan atau pengaduan fitnah?

Menangapi serangkaian pertanyaan yang diajukan oleh Efendi Matias Sidabariba SH, Prof. Dr.Mudzakir, SH,MH, mengatakan bahwa proses Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti suatu peristiwa tindak pidana, Hal tersebut guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP, pasal 1 ke-5 KUHAP.

Sementara proses Penyidikan adalah serangkaian tindakan untuk melengkapi Penyelidikan sesingga membuat terang tindak pidana yang terjadi yang selanjutnya disidangkan, Tata cara tersebut telah diatur dalam pasal 1 ke-2 KUHAP dan Undang-undang.” Tutur Prof Muzakir.

Surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum berbeda dengan surat STap.

Berdasarkan pengertian umum tentang Penyelidikan dan
Penyidikan, Maka kegiatan penyelidikan dilakukan dengan
tujuan memastikan perbuatan yang dilakukan tersebut sebagai
perbuatan pidana atau bukan, Jika sebagai perbuatan pidana, Maka dapat dilanjutkan dengan tindakan Penyidikan.

Apabila yang diselidik ternyata bukan sebagai perbuatan
pidana, Maka kegiatan penyelidikan dihentikan cukup
dilakukan dengan surat pemberitahuan kepada pelapor
perbuatan yang dilaporkan bukan perbuatan pidana.

Jadi dalam tindak penyelidikan tidak dikenal dengan SP3
penghentian Penyelidikan, Namun cukup diberi surat keterangan
tentang dihentikan tindakan Penyelidikan. Penyelidikan
dihentikan apabila hasil Penyelidikan disimpulkan bahwa
perbuatan yang diselidiki adalah bukan perbuatan pidana atau
pihak pengadu menarik aduannya atau pihak pelapor mencabut laporannya sebelum penyelidikan selesai.

Dalam kegiatan penyidikan dikenal dengan adanya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dilakukan apabila hasil penyidikan terkait dugaan perbuatan pidana dinyatakan : Tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum (Pasal 109 ayat (2) KUHAP).

Tindakan Penghentian Penyidikan adalah perbuatan hukum
yang sah yang diatur dalam KUHAP dan semua pihak yang
terkait dengan keputusan untuk menghentikan penyidikan
tidak dapat diproses secara pidana, Termasuk orang yang
mengadukan atau melaporkan terjadinya tindak pidana tidak
bisa dilaporkan karena laporan palsu atau pengaduan firnah.”Kata Prof Muzakir.

Jika keputusan hukum penghentian Penyelidikan pihak pelapor dapat dilaporkan dan diproses ke pengadilan karena telah melakukan tindak pidana laporan palsu atau pengaduan fitnah,  Maka konsekuensinya penyidik juga dapat diproses secara pidana,”ujar Profesor Dr. Mudzakir, SH,MH, ketika memberikan keterangan saat menjadi saksi Ahli Pidana.

Jika putusan nanti lepas dari tuntutan pidana atau terbebas dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Maka penyidik dan Jaksa Penuntut Umum dapat diproses secara pidana, Sebab telah memproses dan telah menahan tersangka dan terdakwa.”ujar Prof Muzakir.

Jika korban atau pelapor boleh dilaporkan balik atas tuduhan laporan palsu atau penghinaan dalam bentuk pengaduan fitnah, Konsekwesnsi terhadap putusan bebas atau lepas nanti, Maka Penuntut dan penyidik juga dapat diproses secara pidana karena telah melakukan penahanan yang tidak sah, Karena melakukan penghinaan  dan menyangka serta mendakwa seseorang.

Hal itu dapat dikualifikasikan perampasan Hak, Merampas kebebasan seseorang, Hal tersebut dapat dikenakan tindak
pidana kekerasan, Perampasan kemerdekaan dan penculikan atau sejenisnya.”ujar Prof Dr. Muzakir SH,MH.

(Nrhd)

Pos terkait