KETAPANG, News Investigasi-86.
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto,menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Pada 21 Januari 2025.
Melalui Perpres 5/2025 ini Pemerintah dapat melakukan penguasaan kembali Kawasan hutan yang dimanfaatkan. Untuk kegiatan perkebunan atau pertambangan tanpa izin.
Seperti di Kawasan Hutan Lindung Gunung Konar Desa Alam Pakuan Kecamatan Sandai, sudah puluhan tahun pengusaha sawit warga Sandai.
Melakukan aktifitas penanaman Kelapa Sawit, mencapai puluhan hektar berpotensi rugikan negara/atau daerah.
Menurut Tokoh masyarakat Andrias Manau Mantan Kepala Desa Alam Pakuan, Kecamatan Sandai, bahwa salah satu Pengusaha Sawit tersebut, bernama Jiku memiliki kebun sawit mencapai 50 Hektar lebih di dalam kawasan hutan lindung Gunung Konar, ujarnya.
“Karena kami menjabat Kepala Desa Alam Pakuan, Tahun 2010 s/d Tahun 2016, pada tahun 2014 Jiku mengajukan pembuatan Surat Keterangan Tanah (SKT) dilokasi Kawasan Hutan Lindung Gunung Konar”.
Kemudian kami sampaikan, bahwa Kawasan Hutan Lindung Gunung Konar, tidak dapat untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Namun Jiku tetap membuka PKS di lokasi kawasan hutan lindung, yang merusak tanaman tumbuh milik masyarakat adat kami, tambah Andrias Manau.
“Dengan keberadaan Perkebunan Kelapa Sawit (PKS) di Kawasan Hutan Lindung Gunung Konar, di Desa Alam Pakuan, telah merusak kolam sumber mata air. Dimana kolam tersebut adalah milik warisan adat nenek moyang kami’.
Maka kami berharap dengan terbentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan, untuk menindak tegas pelaku Penguasa sawit di lokasi Kawasan Hutan Lindung Gunung Konar. Sesuai peraturan perundang undangan,” ucap Andrias Manau dengan nada tegas.
Pada kesempatan lain, M. Sandi (40) Ketua Koperasi Produsen Pangkat Longka Kabupaten Ketapang, mendesak agar dibentuk Satuan tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Klik Liputan Visualnya ⬆️ ( red )
Untuk mendorong dibentuknya satuan tugas (Satgas) gabungan yang berfokus melakukan penertiban kawasan hutan di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang. Khususnya di Kawasan Hutan Lindung Gunung Konar.
Hal ini merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, tambah M. Sandi.
“Bukan tanpa sebab, hal ini mengingat pengelolaan yang dilaksanakan Pengusaha maupun perusahaan perkebunan tersebut, sangat jauh memberikan manfaat baik negara/atau daerah”.
Karena kedua Pengusaha sawit tersebut, diduga melanggar ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berhubungan dengan Tandan Buah Segar (TBS).
Sebagai hasil dari Perkebunan sawit Kawasan Hutan Lindung Gunung Konar, yang diserahkan ke Perusahaan PT Prakarsa Tani Sejati (PT PKS) di Kecamatan Sungai Laur, Kabupaten Ketapang.
Mengacu dalam Pasal 16 B ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM.
Dengan adanya satgas gabungan, pihaknya menekankan. Untuk mengaudit PPN dan PPnBM kedua pengusaha sawit tersebut, dan ditindak tegas jika adanya perbuatan melawan hukum, pungkasnya.
Script Analisis Lembaga TINDAK INDONESIA.
Yayat Darmawi,SE,SH,MH Koordinator Lembaga Investigasi dan Analisis Korupsi saat diminta statemen yuridisnya terkait penyerobotan hutan lindung oleh perusahaan sawit adalah merupakan kejahatan yang terstruktur dan ter manajemen dengan baik sehingga banyak melibatkan oknum oknum di pemerintahan terutama yang berkewenangan mengeluarkan IUP dan SIUP, karena kata kuncinya berada di izin tersebut termasuk yang mengeluarkan izin konsesinya, sebut yayat.
Persoalan perkebunan sawit yang masuk kedalam hutan lindung atau masuk di lahan lingkungan perumahan masyarakat perlu di evaluasi perizinannya dan pasti ada yang salah terkait proses terbitnya izin izinnya, apabila permasalahan ini tidak direspon secara positive oleh KPK RI, maka kerugian negara tidak akan pernah bisa di ungkap saat perkebunan sawit melakukan kejahatan yang berangkai satu sama lainnya, kata Yayat.
Ungkap kejahatan perusahaan sawit di Kalimantan Barat yang selama ini merugikan masyarakat dan merugikan keuangan negara, pinta Yayat.
(Uti Iskandar/Tim).